Mengapa Kita Membutuhkan Yesus Kristus

Dari ceramah kebaktian, “A Message at Christmas [Pesan Saat Natal],” diberikan di Brigham Young University, tanggal 12 Desember 2017.

Oleh Penatua D. Todd Christofferson
Oleh Penatua D. Todd Christofferson Dari Kuorum Dua Belas Rasul
Adoration of the Shepherds [Pemujaan oleh para Gembala],oleh Michelangelo Merisi da Caravaggio, Bridgeman Images
Adoration of the Shepherds [Pemujaan oleh para Gembala],oleh Michelangelo Merisi da Caravaggio, Bridgeman Images

Saya bersyukur bahwa, selain Natal, Desember membawa kesempatan untuk merenungkan kehidupan dan kontribusi Nabi Joseph Smith, yang hari kelahirannya adalah 23 Desember. Sulit untuk sepenuhnya mengapresiasi apa yang dia capai sebagai alat dalam tangan Tuhan dalam suatu lingkungan dengan pertentangan, penganiayaan, dan tantangan yang terus-menerus. Di masa mendatang, kita akan melihat Nabi Joseph dihormati sebagai pemimpin yang layak dari dispensasi yang besar dan terakhir ini—dispensasi yang ditakdirkan untuk berhasil meskipun semua dispensasi sebelumnya telah berakhir dalam kemurtadan.

Penerjemahan dan penerbitan Kitab Mormon merupakan pencapaian pertanda dan pencapaian yang merupakan landasan dari keberhasilan perkara Tuhan di dispensasi terakhir ini. Melalui Kitab Mormon dan dengan penglihatan serta wahyunya, Joseph telah mengungkapkan Yesus Kristus bagi era modern dalam karakter sejati-Nya sebagai Putra Tunggal Allah dan Penebus umat manusia.

Khususnya pada saat ini kita mengingat hubungan pribadi Nabi dengan Juruselamat dan “kesaksian, yang terakhir dari semuanya, yang [dia] berikan tentang [Kristus]: Bahwa Dia hidup!” (Ajaran dan Perjanjian 76:22). Kesaksian Joseph mengenai Kristus yang hidup mengingatkan saya akan pernyataan Presiden Gordon B. Hinckley (1910–2008): “Tidak akan ada Natal jika tidak ada Paskah. Bayi Yesus dari Betlehem hanya akan menjadi bayi biasa tanpa Kristus yang menebus dari Getsemani dan Kalvari, dan fakta kejayaan dari Kebangkitan.”

Mengapa Kita Membutuhkan Yesus Kristus?

Beberapa waktu lalu, seseorang yang telah menjadi anggota Gereja selama bertahun-tahun bertanya kepada saya, “Mengapa saya membutuhkan Yesus Kristus? Saya menaati perintah-perintah; saya orang yang baik. Mengapa saya membutuhkan seorang Juruselamat?” Harus saya katakan bahwa kegagalan anggota ini untuk memahami bagian yang paling mendasar dari doktrin kita ini, elemen mendasar dari rencana keselamatan ini, menyesakkan dada saya.

“Ya, untuk memulai,” saya menjawab, “ada masalah kecil ini berupa kematian. Saya berasumsi Anda tidak ingin kematian Anda menjadi status terakhir Anda, dan tanpa Yesus Kristus tidak akan ada kebangkitan.”

Saya berbicara mengenai hal-hal lainnya, seperti kebutuhan yang dimiliki bahkan orang yang terbaik akan pengampunan dan pentahiran yang hanya dimungkinkan melalui kasih karunia pendamaian Juruselamat.

Pada tingkatan lain, pertanyaannya mungkin adalah, “Tidak dapatkah Allah melakukan apa pun yang Dia inginkan dan menyelamatkan kita hanya karena Dia mengasihi kita, tanpa kebutuhan akan seorang Juruselamat?” Diungkapkan dengan cara demikian, ada cukup banyak orang di dunia dewasa ini juga memiliki pertanyaan itu. Mereka percaya kepada Allah dan suatu eksistensi pascakefanaan yang karena Allah mengasihi kita, tidaklah terlalu menjadi soal apa yang kita lakukan atau tidak lakukan; Dia akan bereskan saja segalanya.

Filosofi ini telah berakar sejak zaman dahulu. Nehor, misalnya, “bersaksi kepada orang-orang bahwa seluruh umat manusia akan diselamatkan pada hari terakhir, dan bahwa mereka tidak perlu takut tidak juga gemetar, tetapi bahwa mereka boleh mengangkat kepala mereka dan bersukacita; karena Tuhan telah menciptakan semua orang, dan juga telah menebus semua orang; dan, pada akhirnya, semua orang akan memperoleh kehidupan kekal” (Alma 1:4).

Anda mengenali dalam doktrin Nehor gema dari pendekatan pada keselamatan yang dikemukakan oleh Lusifer, seorang “putra fajar,” yang tentunya adalah figur paling tragis yang pernah ada (Yesaya 14:12; lihat juga Ajaran dan Perjanjian  76:25–27). Seperti yang pernah Allah jelaskan, Lusifer “adalah yang sama yang ada dari awal, dan dia datang di hadapan-Ku, mengatakan—Lihatlah, di sinilah aku, utuslah aku, aku akan menjadi putra-Mu, dan aku akan menebus seluruh umat manusia, sehingga [tidak] satu jiwa pun … akan hilang, dan pastilah aku akan melakukannya; karenanya berilah aku kehormatan-Mu.

Tetapi, lihatlah, Putra Terkasih-Ku, yang adalah Yang Terkasih dan Yang Terpilih-Ku sejak awal, mengatakan kepada-Ku—Bapa, kehendak-Mu jadilah, dan kemuliaan adalah milik-Mu selamanya” (Musa 4:1–2).

Ini bukanlah semata-mata kasus dimana Yesus mendukung rencana Bapa dan Lusifer mengusulkan sedikit modifikasi. Usulan Lusifer akan menghancurkan rencana tersebut dengan mengeliminasi kesempatan kita untuk bertindak secara mandiri. Rencana Lusifer didasarkan pada pemaksaan, pada dasarnya menjadikan semua putra dan putri Allah lainnya—kita semua—bonekanya. Dan Bapa merangkumnya:

“Karenanya, karena Setan memberontak melawan-Ku, dan berupaya untuk menghancurkan hak pilihan manusia, yang telah Aku, Tuhan Allah, berikan kepadanya, dan juga, agar Aku hendaknya memberikan kepadanya kuasa-Ku sendiri; melalui kuasa Anak Tunggal-Ku, Aku sebabkan agar dia hendaknya dicampakkan;

Dan dia menjadi Setan, ya, bahkan iblis, bapa segala kedustaan, untuk menipu dan untuk membutakan manusia, dan untuk menuntun mereka tertawan pada kehendaknya, bahkan sebanyak yang tidak mau menyimak suara-Ku” (Musa 4:3–4; penekanan ditambahkan).

Sebaliknya, melakukannya dengan cara Bapa menawarkan kepada kita pengalaman kefanaan yang esensial. Dengan “pengalaman kefanaan,” maksud saya adalah memilih arah kita, “[mengenyam] yang pahit, agar [kita boleh] tahu untuk menghargai yang baik” (Musa 6:55); belajar, bertobat, menjadi makhluk yang mampu bertindak bagi diri kita sendiri alih-alih sekadar menjadi “ditindaki” (2 Nefi 2:13); dan pada akhirnya mengatasi yang jahat dan memperlihatkan hasrat serta kemampuan kita untuk mengamalkan hukum selestial.

Ini menuntut suatu pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat di pihak kita, dengan kapasitas dan kesempatan untuk memilih di antara keduanya. Dan itu menuntut pertanggungjawaban untuk pilihan-pilihan yang dibuat—jika tidak demikian itu semua bukanlah pilihan. Pilihan, sebaliknya, menuntut hukum, atau hasil yang dapat diprediksi. Kita harus mampu melalui tindakan atau pilihan tertentu menyebabkan suatu akibat atau hasil tertentu—dan dengan pilihan yang berlawanan menciptakan akibat yang berlawanan. Jika tindakan tidak memiliki konsekuensi tetap, maka orang tidak memiliki kendali atas hasil, dan pilihan menjadi tak berarti.

One by One [Satu demi Satu], oleh Walter Rane
One by One [Satu demi Satu], oleh Walter Rane

Hukum dan Keadilan

Menggunakan keadilan sebagai sinonim untuk hukum, Alma menyatakan, “Sekarang, pekerjaan keadilan [yakni, pengoperasian hukum] tidak dapat dihancurkan; jika demikian, Allah akan berhenti menjadi Allah” (Alma 42:13). Pemahaman dan penggunaan-Nya akan hukumlah—atau dengan kata lain, keadilan-Nya—yang memberi Allah kuasa-Nya. Kita membutuhkan keadilan Allah, sistem hukum yang tetap dan langgeng yang Dia sendiri patuhi dan terapkan, agar kita dapat memiliki dan menggunakan hak pilihan. Keadilan ini merupakan landasan dari kebebasan kita untuk bertindak dan adalah jalan kita satu-satunya menuju kebahagiaan yang hakiki.

Tuhan memberi tahu kita, “Apa yang diatur oleh hukum juga dilestarikan oleh hukum dan disempurnakan dan dikuduskan oleh yang sama” (Ajaran dan Perjanjian 88:34). Tetapi kita harus mengakui bahwa tidak seorang pun dari kita telah senantiasa dan tanpa pernah gagal “diatur oleh hukum.” Dan kita sungguh tidak dapat berpaling pada hukum atau keadilan untuk melindungi dan menyempurnakan kita ketika kita telah melanggar hukum tersebut (lihat 2 Nefi 2:5). Maka, karena adil dan juga dimotivasi oleh kasih, Bapa Surgawi kita menciptakan belas kasihan. Dia melakukan ini dengan menawarkan Putra Tunggal-Nya sebagai upaya perdamaian bagi dosa-dosa kita, Makhluk tanpa dosa yang dapat, dengan Pendamaian-Nya, memenuhi keadilan bagi kita, menempatkan kita selaras dengan hukum sehingga itu sekali lagi mendukung dan melindungi kita, tidak menghukum kita. Alma menjelaskan:

“Dan sekarang, rencana belas kasihan tidak dapat dilaksanakan kecuali suatu pendamaian akan dibuat; oleh karena itu Allah sendiri mendamaikan dosa-dosa dunia, untuk mendatangkan rencana belas kasihan untuk memenuhi tuntutan keadilan, agar Allah boleh menjadi seorang Allah yang sempurna, yang adil, dan seorang Allah yang penuh belas kasihan juga. …

Tetapi ada hukum diberikan, dan hukuman [atau konsekuensi] dikaitkan, dan pertobatan dikabulkan; yang pertobatan itu, belas kasihan tuntut haknya; jika tidak, keadilan menuntut hak atas makhluk itu dan melaksanakan hukum, dan hukum menimpakan hukuman; jika tidak demikian, pekerjaan keadilan akan dihancurkan, dan Allah akan berhenti menjadi Allah.

Tetapi Allah tidak berhenti menjadi Allah, dan belas kasihan menuntut hak atas yang menyesal, dan belas kasihan datang karena pendamaian” (Alma 42:15, 22–23).

Yang menyesal, tentunya, adalah mereka yang mengambil tanggung jawab dan menerima belas kasihan-Nya dengan bertobat. Atau, dengan kata lain, bertobat adalah apa yang kita lakukan untuk mengklaim karunia pengampunan yang penuh kemurahan yang seorang Bapa yang adil di surga dapat tawarkan kepada kita karena Putra Terkasih-Nya telah melakukan pendamaian bagi dosa-dosa kita.

Christ Praying in the Garden of Gethsemane [Kristus berdoa di Taman Getsemani], oleh Hermann Clementz
Christ Praying in the Garden of Gethsemane [Kristus berdoa di Taman Getsemani], oleh Hermann Clementz

Pendamaian Yesus Kristus

Karena Pendamaian Yesus Kristus, kita dapat pulih dari pilihan-pilihan yang buruk. Karena Pendamaian Yesus Kristus, dampaknya terhadap kita karena dosa dan kesalahan orang lain, dan setiap ketidakadilan, akan diperbaiki. Untuk dimurnikan, dan untuk dikuduskan, kita membutuhkan seorang Juruselamat. Maka, jawaban atas pertanyaan kita adalah, “Tidak, Allah tidak dapat bertindak sesuka hati-Nya untuk menyelamatkan seseorang. Dia tidak dapat sewenang-wenang dan juga sekaligus adil. Dan jika Dia tidak adil, Dia bukanlah Allah.” Karenanya, keselamatan dan permuliaan harus dicapai dengan cara yang menjunjung tinggi dan selaras dengan hukum yang abadi, dengan keadilan. Dan syukur kepada Allah, Dia telah menjunjung keadilan dengan menyediakan seorang Juruselamat.

Biarlah dicatat bahwa dalam sidang raya di prakehidupan fana, Lusifer tidaklah mengajukan diri untuk menjadi juruselamat kita. Dia tidak berminat untuk menderita atau mati atau mencurahkan darahnya demi kita. Dia tidak berupaya untuk menjadi perwujudan dari keadilan melainkan untuk menjadikan dirinya hukum itu sendiri. Adalah pendapat saya bahwa dalam mengatakan kepada Bapa, “Berilah aku kehormatan-Mu” (Musa 4:1), Lusifer sedang mengatakan, “Berilah kepadaku hak untuk berkuasa,” dengan niat untuk menggunakan kuasa itu sesukanya. Hukum adalah apa pun yang dia katakan di saat kapan pun. Dengan cara itu, tidak seorang pun dapat menjadi aktor yang independen. Lusifer akan menjadi yang utama, dan tidak seorang lain pun dapat memperoleh kemajuan.

Yesus, di sisi lain, memahami bahwa baik keadilan mau pun belas kasihan yang tak terubahkan akan dituntut bagi saudara dan saudari-Nya untuk maju. Bersama Bapa, Dia mengupayakan untuk tidak memaksa dan mendominasi kita melainkan untuk membebaskan dan mengangkat kita agar kita dapat “melebihi segalanya” dan “memiliki segala kuasa” bersama Bapa (Ajaran dan Perjanjian 132:20).

Betapa kita seharusnya bersukacita bahwa Putra Sulung-Nya dalam roh bersedia untuk menjadi Putra Tunggal-Nya dalam daging, untuk menderita secara tak terkira dan mati secara memalukan untuk menebus kita. Dia secara sempurna menyatukan keadilan dan belas kasihan. Dia menyelamatkan kita dari—bukan dalam, melainkan dari—dosa-dosa kita (lihat Helaman 5:10–11; lihat juga Matius 1:21).

Dan Dia juga menebus kita dari Kejatuhan, dari kematian rohani dan jasmani. Dia membukakan pintu menuju kefanaan dan kehidupan kekal. Adalah tidak mungkin untuk mengukur kedalaman kasih-Nya. “Sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggung-Nya, dan kesengsaraan kita yang dipikul-Nya, …

… Dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, Dia diremukkan oleh karena kejahatan kita” (Yesaya 53:4–5).

Adoration of the Infant Jesus [Pemujaan terhadap Bayi Yesus], oleh Matthias Stomer, Bridgeman Images
Adoration of the Infant Jesus [Pemujaan terhadap Bayi Yesus], oleh Matthias Stomer, Bridgeman Images

Kemuliaan bagi Allah

Saat Natal mendekat, saya menyadari bahwa beberapa orang mungkin memiliki kekhawatiran dan keresahan mengenai masa depan. Mungkin ada banyak “kebisingan” dalam kehidupan Anda, lebih atau kurang keterlibatan konstan secara daring tanpa waktu jeda, tanpa waktu untuk bersikap hening dan merenung dan berpikir, tanpa waktu untuk melihat ke dalam dan memperbedakan di mana Anda berada dan ke mana hendaknya Anda pergi. Anda mungkin dipengaruhi oleh ekspektasi yang tidak realistis, seperti “kesempurnaan seharusnya segera” atau “kebahagiaan dan kesuksesan tanpa jeda seharusnya merupakan norma kehidupan.”

Saya berharap Anda akan mengesampingkan konsepsi yang keliru ini, mengurangi kebisingan di saat Natal ini, setidaknya untuk satu jam, jika tidak lebih—untuk merenungkan “keajaiban dan keagungan … Putra Allah.” Biarlah itu menjadi satu jam penentraman hati dan pembaruan bagi Anda.

Pada Natal sebelumnya, saya menuliskan pesan ini:

“Ketika kita berbicara mengenai kelahiran Yesus Kristus, kita secara pantas merenungkan apa yang akan menyertainya. Kelahiran-Nya sesungguhnya sangat signifikan karena apa yang akan Dia alami dan derita agar Dia dapat menyokong kita dengan lebih baik—semuanya berpuncak pada Penyaliban dan Kebangkitan-Nya (lihat Alma 7:11–12). …

[Tetapi saya juga] berpikir adalah patut di saat seperti ini untuk berpikir hanya mengenai bayi di palungan itu. Jangan terlalu dipenuhi atau disibukkan dengan apa yang akan terjadi sesudahnya. … Luangkan waktu yang tenang penuh kedamaian untuk merenungkan awal kehidupan-Nya—kulminasi dari nubuat surgawi tetapi awal duniawi bagi-Nya.

Luangkan waktu untuk bersantai, merasakan kedamaian, dan melihat anak kecil ini di benak Anda. Jangan terlalu khawatir … dengan apa yang [mungkin akan] terjadi dalam hidup-Nya atau dalam hidup Anda. Alih-alih, luangkan waktu yang penuh kedamaian untuk merenungkan mungkin momen yang paling hening dalam sejarah dunia—ketika segenap surga bersukacita dengan pesan ‘Kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia’ (Lukas 2:14).”