Ketika masih kanak-kanak, ayah saya berselisih dengan saudara lelakinya. Tersinggung, dia menghentikan semua kontak dengan saudaranya itu dan juga melarang kami untuk mengunjunginya. Baru lama kemudian ketika ibu saya sakit parah dan mendekati ajalnya ayah saya akhirnya memperkenankan saudara lelakinya beserta istrinya datang mengunjungi kami lagi. Di sekolah tingkat menengah, saya berselisih dengan sahabat saya yang tinggal di sebelah rumah. Saya berhenti berbicara kepadanya dan mengucilkan dia untuk “menghukum” dirinya. Belakangan, seorang anggota Gereja membawanya ke Gereja. Saya melihatnya tetapi saya menolak untuk berbicara kepadanya agar saya dapat terus “menghukum” dirinya. Sampai hari ini, saya masih menyesali perilaku saya. O, betapa saya berharap dapat menemukan dia dan mengatakan kepadanya bahwa saya menyesal!
Tuhan berfirman, “Dia yang tidak mengampuni saudaranya akan pelanggarannya berdiri terhukum di hadapan Tuhan; karena ada tinggal di dalam dirinya dosa yang lebih besar.”1 Saya tidak dapat memahami ayat ini ketika masih muda. Saya tidak dapat memikirkan mengapa, sebagai korban, dosa saya lebih besar daripada yang bersalah jika saya tidak memaafkan dia. Bagaimana ini bisa adil? Yang pasti saya tidak paham!
Sewaktu saya lebih dewasa, lebih berpengalaman, dan telah merenung banyak mengenai tulisan suci ini, akhirnya saya “paham”! Itu adalah karena Allah begitu mengasihi kita! Tersinggung memang menyakitkan, tetapi jika kita tidak memaafkan mereka yang membuat kita tersinggung, kita akan tersakiti bahkan lebih dalam dan lebih lama. Bapa Surgawi kita yang pengasih ingin kita membiarkan keadilan berada di tangan-Nya. “’Aku, Tuhan, akan mengampuni yang akan Aku ampuni,’ tetapi dari [kita] ‘dituntut untuk mengampuni semua orang.’”2 Dengan melakukannya, kita tidak akan menderita kerusakan yang lebih jauh dengan menyakiti jiwa kita sendiri.
Seorang sister yang bijak memahami asas ini. Dia berkata, “Ketika Anda memaafkan orang lain, Anda hanyalah bersikap baik kepada diri Anda sendiri.” Presiden Brigham Young juga mengajarkannya dengan memberi contoh mengenai seseorang yang ketika digigit oleh ular berbisa, reaksi yang umum adalah untuk sesegera mungkin mencari tongkat untuk memukul ular itu sampai mati, sementara yang sebenarnya hendaknya dilakukan adalah segera pergi ke rumah sakit untuk mengupayakan bantuan agar selamat.3 Dengan kata lain, ketika kita tersakiti (digigit ular), memilih pengampunan (mendapatkan transfusi serum darah) adalah jauh lebih penting dan mendesak daripada mengupayakan pembalasan.
Saya bersyukur bahwa saya berkesempatan untuk membaca buku Presiden Spencer W. Kimball, The Miracles of Forgiveness [Mukjizat Pengampunan], ketika saya masih muda. Darinya, saya belajar bahwa “pengampunan tidaklah memiliki pengecualian.”4 Saya juga belajar bahwa “dengan kuasa Allah kita dapat mengampuni siapa pun, bahkan diri kita sendiri.”5
The Miracles of ForgivenessKristus adalah teladan utama kita. Selama pelayanan fana-Nya, Dia terus-menerus memaparkan asas Injil ini baik melalui perkataan maupun perbuatan. Bahkan ketika Dia berada di atas kayu salib, Dia berfirman, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”6 Saya bersaksi bahwa Allah sangat mengasihi kita sehingga Dia mengutus Putra Terkasih-Nya untuk melakukan pendamaian bagi dosa-dosa kita untuk memuaskan tuntutan keadilan. Dia ingin kita hidup dengan kedamaian batin. Dia tidak ingin ada sedikit pun “racun” yang tersisa di dalam hati kita. Saya dengan teguh percaya bahwa melalui mukjizat pengampunan kita dapat menjadi murid Kristus yang sejati. Sama seperti yang Nabi Joseph Smith katakan sebelum dia berangkat menuju Penjara Carthage, “Aku tenang bagaikan suatu pagi di musim panas; aku memiliki suara hati yang hampa akan kesalahan terhadap Allah, dan terhadap semua orang.”7
Brother dan sister, jika ada di antara Anda yang memiliki kesulitan mengampuni orang lain, mohon ingat apa yang Penatua Bednar ajarkan, “Kuasa memampukan dari Pendamaian Kristus [dapat] memperkuat kita untuk melakukan apa yang tidak pernah dapat kita lakukan sendiri.”8
Saya tahu asas yang benar ini berasal dari Allah. Kita semua dapat melakukannya! ■
Caption: Penatua Jui-Chang Juan
CATATAN
1 Ajaran dan Perjanjian 64:9.
2 Ajaran dan Perjanjian 64:10.
3 Sebagaimana dilaporkan dalam Marion D. Hanks, “Forgiveness: The Ultimate Form of Love,” Ensign, Januari 1974, 21.
Ensign4 Lihat Spencer W. Kimball, The Miracle of Forgiveness (1969), 262, 282.
The Miracle of Forgiveness5 Lihat Spencer W. Kimball, The Miracle of Forgiveness (1969), 298‒300, 339, 344.
The Miracle of Forgiveness6 Lukas 23:34.
7 Ajaran dan Perjanjian 135:4.
8 Lihat David A. Bednar, ”In the Strength of the Lord,” Ensign, November 2004, 77.
Ensign